Pria Itu, Dalam Impian dan Rasa Sakit
Tak Pernah Terduga...
Menulis Lagi
DEDIKASI
GEPLAKAN 18 MEI 2011. Pukul 03.00WIB. Pagi ini terasa begitu lelah, tapi entah kenapa mata tak kunjung bisa dipejamkan. Aktifitas hari ini yang padat tak menjadikan rasa kantuk mendekat. Satu jam yang lalu aku baru tiba sejak kepergianku sejak tadi siang. Menghadiri acara besar sebuah organisasi sosial. Organisasi kemahasiswaan yang sempat aku kenyam semasa kuliah. Musyawarah Besar, begitu kami menyebut acara itu.
Akhirnya kuputuskan untuk menulis sebuah tulisan. Ku buka notebook dan tak lupa membawa sedikit cemilan. Coba mendokumentasikan buah fikiran menjadi sebuah feature. Ku dedikasikan kepada mereka yang sudah berjuang. Orang-orang hebat yang sudah banyak berkorban demi suatu tujuan, bahkan tanpa ada pengakuan.
Sebenarnya tak ada hal baru. Yah, sejak pertama kali mengikuti hingga sekarang memang belum ada yang berubah drastis dari segi acara maupun atmosfirnya, hanya para pelakunya saja yang pasti berganti. Tapi hal itu sama sekali tak mengurungkan niatku untuk menuliskan cerita ini tentunya. Memang tidak aktual, tapi terlupakan tepatnya. Mungkin ini adalah sebuah fase dimana seseorang makin mendalami sesuatu, maka ia akan semakin peka terhadap fenomena-fenomena yang kadang tidak setiap orang pahami.
Maka ku awali tulisan ini dengan sebuah perwujudan kata, yaitu “dedikasi”.
KALIURANG, 17 MEI 2011. Sore itu sekitar pukul 17.00 WIB, Wisma Al-Kindi menjadi saksi bagaimana forum itu berlangsung. Baru saja agenda LPJ(laporan Pertanggung Jawaban) Departemen Litbang dibacakan. Acara memang sempat terhenti karena harus berpindah wisma, dari Wisma BIK ke sini. Perdebatan yang alot mampu membuat pembahasan sampai bisa molor jauh dari prediksi. Luar biasa!
Masih berkutat dengan lelahku. Maklum, beberapa jam yang lalu baru saja tiba dari Ibukota. Tapi tak mungkin rasanya bisa beristirahat tanpa berpartisipasi, karena hari ini adalah hari terakhir. Berusaha untuk tetap fokus sambil coba mengejar ketertinggalan. Memang sudah banyak pembahasan yang terlewat, akibat urusanku tadi.
Kursi-kursi tertata seperti ruang kuliah, tak seperti ruang sidang umumnya yang berbentuk “leter U”. Aku duduk di pojok kiri barisan paling depan, berbaur bersama sekitar 30 orang diruangan tersebut. Sebagian besar diantaranya anggota baru, selebihya adalah pengurus dan dewan pengawas (bentukan yang bertugas mengawasi jalannya kepengurusan). Akulah satu-satunya alumni disana. Meski begitu kurasa sama seperti mereka, karena aku juga dewan pengawas di periode ini, yang bertanggungjawab pada kinerja pengurus. Hanya saja, sempat berubah status karena lulus sebelum periode berakhir.
Disebelahku berderet para dewan pengawas. Apri, Adin, Rudy, dan Edho. Merekalah amunisi yang tersisa. Seorang anggota lain bernama Andy pulang ke kost sesaat sebelum pelaporan Departemen Litbang dimulai, ia pendadaran esok harinya. Seorang lagi yang tak tampak adalah Dika, yang sudah dinonaktifkan dari jabatan. Ditambah aku maka jumlah kami yang bertujuh, sehingga dulu sempat mendapat julukan sebagai “tujuh baladewa”.
Nampak wajah lelah dan sayu, meski sesekali terdengar suara lantang dari mulut mereka. Memaksakan diri sepertinya. Kondisi yang seharusnya lebih dirasakan angota baru sebagai penitia atau pengurus yang sepatutnya tertekan akibat kesalahan-kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan. Ada apa dengan mereka?
Tak seorangpun yanga ada disana memahaminya, mungkin menggubris pun tidak. Kecuali diriku tentunya. Mereka adalah kawan-kawanku, yang telah melewati satu periodesasi kepengurusan. Bahkan ditambah satu periode lagi sebagai seorang “pengajar”. Mampu menngkolaborasikan pemikiran, mengelola pertikaian, bahkan saling menutupi kekurangan. Itulah yang namanya profesional dalam persahabatan. Memanfaatkan keakraban untuk belajar, bukan sekedar memaklumi bahkan mengingatkan, tapi juga dalam hal mewujudkan impian. Ya, salah satunya dalam mewujudkan tujuan organisasi ini.
Memang terlalu manis penggambaran diatas, tapi begitulah adanya. Walau tak dipungkiri, kami tak lepas dari kekurangan. Terlebih pada diriku. Sering menghilang saat dibutuhkan, sering sumbangkan pemikiran, tapi jarang terealisasikan. Sempat merasa seorang pengkhianat, saat harus lulus duluan, meninggalkan mereka dengan seabrek beban.
Maka hingga saat ini, bayang-bayang mereka lah yang membuatku masih bertahan, disamping tanggungjawab moral akan impian “bersama” tentunya. Sesaat teringat akan diriku saat ini, masih berkutat dengan disorientasi, berjuang mengejar ambisi pribadi, bergelut melawan tekanan waktu dan kelemahan. Huh! Mereka tak lebih mujur karena masih harus terbelenggu tanggungjawab formal dan beban moral mengurusi organisasi ini, tak pantas kiranya aku mengeluh.
Semestinya jadi alumni merupakan suatu kemudahan. Saat-saat menjadi manusia yang “bebas” yang bertindak untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, jika menengok kondisi tersebut, tak mungkin rasanya hanya berdiam diri. Hidupku memang tak sedang mapan, tapi mereka yang bertahan pun masih bisa berjuang ditengah hegemoni masalah-masalah pribadi. Masalah yang tak banyak orang ketahui.
Yah, betapa pilu pasti hati mereka. Berkorban segalanya ditengah problematika, sudah hasil tak maksimal, ditambah penghargaan akan jasa pun tak ada. Masalah terbaru yaitu selama berjalannya acara, dimana banyak asumsi negatif pada pribadi mereka. Dianggap tak konsisten bicara, dirasa tak punya hati dalam menekan. Sikap-sikap heroik yang harusnya diambil sisi pembelajaran, justru lebih dinilai dari tata pembahasaan.
AL KINDI 17 MEI 2011. Tempat itu benar-benar terasa gerah bagi tiap orang. Sudah gerah akibat hasil laporan pertanggungjawaban dari keseluruhan pengurus, di bumbui pekikan para anggota yang sudah jengah dirundung gelisah. Mereka harus kuliah pagi, atau sudah di tekan orang tua untuk pulang akibat disangka ikut aliran-aliran sesat. Ada-ada saja masalah ini.
Rasa lelah bercampur kantuk kembali menghinggap. Kurasai tak menarik lagi forum evaluasi ini. Sejak pembahasan bendahara hingga ketua, aku memang tak duduk ditempat semula. Duduk dibarisan belakang bersama beberapa pengurus dan anggota. Sedikit berbisik sambil bercanda, mencairkan suasana yang kaku. Tak baik sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi, forum harus dicairkan.
Akhirnya selesai sudah evaluasi pertanggungjawaban seluruh pengurus. Diakhiri dengan anti klimaks, karena sang pemimpin tak hadir akibat pemulihan pasca operasi. Dilanjutkan dengan penentuan hasil laporan. Singkatnya, diputuskan bahwa laporan pertanggungjawaban kepengurusan periode ini ditolak. Hening sejenak. tak ada satupu pengurus yang menyalak. Namun bisa terasa bagaimana isi hati mereka.
Kecewa. Itulah kata yang muncul di hati para pengurus. Tak lupa tetesan air mata dan mimik wajah berduka menghiasi beberapa dari mereka. Tak banyak berkata-kata, tak ada pembelaan.
Wajar bagiku, mereka sudah merasa berkorban demi terlaksananya program kerja. Terlebih harus menerima kritik dan tekanan baik sebelum hingga berakhirnya tiap kegiatan yang telah terselenggara. Bahkan bila meninjau sisi progres, pada periode inilah inovasi benar-benar dimaksimalkan, bahkan organisasi lain pun belum tentu bisa berkarya seperti mereka. Sepintas memang tampak sia-sia.
Tuhan pun menilai proses! Mungkin itu ucapan sakral yang akan selalu aku utarakan. Tak ada yang ajaib di dunia ini. Saat dilihat hasil, maka selama proses tak adil jika hanya pengurus yang dinilai punya andil. Kami dewan pengawas dan anggota baru tak bisa di hilangkan dari hitungan. Andil dalam kepanitiaan, tim perumus, atau hanya sebagai peserta dalam kegiatan. Menutupi sendi-sendi kerapuhan pengurus demi mencapai hasil yang baik.
Kepengurusan ini memang kehilangan jati diri. Idealnya jadi ujung tombak organisasi, malah tumpul akibat terkepung oleh masalah-masalah sepele yang berlebihan saat disikapi. Jangankan sampai pada tahapan “menguasai”, untuk merasa ada pembelajaran berorganisasi saja tidak. Tak ada kontekstual yang masuk dari tiap arahan, hanya sebatas tekstual yang kemudian disikapi negatif. Maka, ku wajari pula jika laporan tersebut ditolak.
Maaf. Sama sekali tak ada maksud mencaci dalam tulisan ini. Karena sadarkah semuanya, siapa yang patut merasa paling bersalah? Penguruskah? Ketuakah? Jawabannya “tidak!” Dewan pemgawaslah yang merasa paling bersalah atas kegagalan meski ujung-ujungnya mereka sendiri yang memutuskan untuk menolak laporan.
Ku ibaratkan seperti seorang guru yang harus memutuskan siswanya tinggal kelas, padahal ia sudah mendidiknya habis-habisan. Pantaskah sang guru dipersalahkan? Tidak. Tapi, wajarkah jika ia yang merasa paling bersalah? Ya! Si murid bisa saja tetap tinggal kelas atau keluar dari sekolah, tapi sang guru pasti akan tetap mengajar walaupun suatu saat akan menghadapi murid-murid yang sama seperti murid itu. Begitulah beratnya transformasi yang harus benar-benar kita sadari.
AL KINDI 18 MEI 2011. Masih ditempat itu. Menjelang dini hari, lewat Pukul 00.00 WIB, suasana sudah sedikit cair. Acara berikutnya adalah pemilihan ketua. Seorang pria mungil bernama Guntur Urana terpilih menjadi ketua. Suasana sedikit meriah, pemilihan mandataris baru memang hal yang paling ditunggu-tunggu banyak pihak. Namun tidak untukku, sama sekali tak menarik. Karena saat pemilihan anggota dewan pengawas yang baru lah, justru hatiku merasa tersentuh.
Prosesi itu dilakukan setelah pemilihan ketua. Terakhir sebelum penutupan oleh ketua panitia. Forum menjadi terlalu cair karena peserta sudah ingin segera pulang. Tak ada penghargaan berarti bagi pemilihan dan penetapan untuk sebuah bagian dari organisasi yang bertugas tak hanya sebagai “polisi” tapi juga sebagai “guru”.
Hatiku makin terketuk, ketika aku ingat lima orang diantara mereka yang terpilih adalah dewan pengawas lama. Apri, Adhin, Rudy, Edho, dan Andy. Nama terakhir memang tak ada dalam forum itu, tapi ujar salah satu peserta, pria yang beberapa jam lagi akan pendadaran ini menyatakan kesediaannya untuk kembali menjabat sebagai dewan pengawas. Meski sifat kemahasiswaannya mungkin akan berakhir tak lama lagi, hanya menunggu wisuda saja.
Akhirnya acara itu berakhir dengan pidato singkat ketua panitia. Tapi (semoga) tidak dengan keberlangsungan organisasi. Karena tak ada yang bisa pastikan nanti jika persepsi masih seperti ini. mungkin hanya akan mengorbankan beberapa pihak saja, tanpa ada sedikitpun penghargaan. Sebagian besar lainnya pergi tanpa perduli, hanya karena merasa tidak nyaman dan tak dapat yang diinginkan.
Kita semua lupa akan suatu hal yang disebut “dedikasi”. Dalam lingkup masyarakat kecil bernama organisasi, dedikasi itulah pembelajaran yang paling hakiki. Hanya saja kita semua sadar atau tidak, akan hal tersebut. Jika tidak sadar, maka sangat wajar bila merasa selama ini tak dapat apa-apa. Hanya menuai lelah, menambah musuh, atau menggangu akademis. Tak perlu kiranya diperdebatkan, baiknya kita tanya diri kita sendiri.
Tegas bagiku mengakuinya. Jawaban yang pasti diamini oleh ke lima sahabatku tadi. Karena jelas pula dedikasi mereka. Mau kembali menjabat dewan pengawas, dimasa-masa akhir studinya. waktu dimana seharusnya tiap orang sudah berkutat dengan buku, artikel, internet, dan komputer, menyusun skripsi.
Namun perlu kembali diingat, se-heroik apa mereka berkorban, tetap saja waktu memberi sebuah batasan. Waktu pula yang megkotak-kotakkan hingga tercipta senior-junior yang terpisah karena pengalaman. Waktu akan mengikis mereka yang semakin “tua”. Bukan untuk menghilangkan kemampuan mereka, tetapi untuk menempatkannya pada ruang lingkup yang lebih luas lagi.
Seperti halnya teori residu, dimana mereka bahkan halnya aku dan alumni lainnya. Di organisasi saat ini kami hanyalah “sisa”, yang penuh akan dilema. Jika terlampau dijaga maka mencemari yang masih baru, namun bila dibuang seketika tak lebih buruk hasilnya. Karena yang baru tak pernah bisa berkaca dan belajar dari pengalaman yang kami punya.
Maka biarkanlah aku dan atau mereka hilang sesuai waktu dan digantikan oleh tenaga-tenaga muda yang memiliki kesamaan visi, melanjutkan apa yang telah kami bangun. Jangan paksa kami “ada” saat waktu tak mengharapkannya. Ingat bahwa dedikasi tak sama dengan pengorbanan.
Setiap orang ada zamannya dan (semoga) setiap zaman ada orangnya. Sadar adalah kuncinya dan dedikasi adalah modal utamanya. Biarkan masa yang terlewati menjadi pembelajaran dan yang akan datang menjadi cita-cita.
Selengkapnya...
HAMPARAN SAWAH ITU
Tak lama berselang, pulanglah aku dengan membawa sebungkus makanan. Sudah tak sabar rasanya, untuk segera menyantap. Namun seketika antusiasmeku berubah. Sesuatu seketika menjejal fikiranku.
Sesaat setelah membuka pintu garasi dan beranjak untuk memasukkan motor, seketika aku membalikkan badan dan melihat, teringat kemudian termenung...
Hamparan sawah luas didepan rumahku, tampak samar-samar di kegelapan malam, dibalut cahaya redup lampu teras dan seberkas kirana rembulan. Dia seperti sedang menatapku. Membelai lembut dengan hembusan angin yang semilir merasuk kulitku. Sejenak terasa nyaman, hilang segala penat, bahkan gerah yang sempat terasa saat berada didalam rumah.
Aku terdiam, suasana ini mensyaratkan fikiranku tuk mengingat sesuatu. Ah, kenangan yang sudah sangat lama. Kisah tentang masa kecilku,yang selalu bermain di hamparan sawah itu.
Sudah terlampau usang memang, sulit kiranya mengingat dengan rigit. Yang jelas, saat-saat itu adalah awal kepindahanku dari kota ke desa. Sebuah desa transisi , berada startegis di dekat jalan raya kota, tetapi masih banyak sawah disekitarnya.
Tak terasa sudah limabelas tahun lebih aku bertetangga dengannya. Mulai dari rumah itu berdiri gagah sendirian, hingga sekarang dimana beberapa petak sawah lainnya telah beralih menjadi bangunan-bangunan megah. Tembok-tembok raksasa yang membuat tempat tinggalku makin terusik eksistensinya.
*
Dingin makin merasuk, kuputuskan untuk masuk. Setelah selesai memarkir motor, bergegas kusantap makanan tadi di ruang tengah. Selera makanku tak seantusias tadi rupanya. Entah lantaran santapannya yang tidak enak atau mungkin animo ini memang sudah bercabang akibat renungan tadi. Meski akhirnya makanan itu kuhabiskan juga, hahaha...
Layaknya seorang filusuf besar yang perlu suatu stimulan dalam ikhtiar bermakrifatnya, maka ku hisap sebatang rokok untuk sedikit membantu otakku dalam bekerja. Yah, ternyata kejadian tadi membuat makin membuatku tak bisa tidur. Huh! Harusnya malam ini berakhir dengan nyenyak, ditutup santap malam tadi. Tapi tak apalah, setidaknya malam ini dapat sedikit bahan untuk refleksi diri.
Yah, seketika ingatan itu semakin jelas. Kenangan saat bermain bersama teman-teman baru dan untuk pertamakalinya bercengkrama di tengah hamparan sawah seperti itu. Tanpa alas kaki, tanpa uang saku, dan yang terpenting tanpa rasa takut akan resiko apapun termasuk ular dan ibu tentunya.
Tatkala sawah ditanami tebu,kami mengendap-endap mencuri batang tebu untuk dihisap saripati manisnya. Bak seorang pencuri ulung nan profesional, kami selalu bisa mengelabui pak Mandor yang sebenarnya adalah tetangga kami juga. Ah apakah benar kami yang ulung, atau memang ia sengaja membiarkannya. Dan saking seringnya, sampai tak jarang dari kami terserang batuk atau radang tenggorokan.
Ketika sawah ditanami padi, kami pun sering bermain disana. Entah main kartu di sebuah gubuk kecil di tengah-tengahnya atau menarik boneka jerami yang sengaja dibuat untuk menakuti burung-burung gereja.
Selain itu, tak jarang juga kami berburu belut atau ikan-ikan kecil di sekitar aliran sungai yang menuju ke sawah. Namun, hal yang paling berkesan adalah ketika bermain laying-layang ditengah hamparan sawah yang sangat luas itu. Memang di kota pun bisa, tapi mustahil sebebas ini tentunya. Angin yang besar, tanpa terhalang bangunan, paling-paling kabel listrik saja. Puas rasanya!
*
Hingga sampailah anganku pada sebuah pertanyaan, mengapa dewasa ini jarang sekali anak-anak mau bermain dan bercengkrama di hamparan sawah itu? Lama memang tak pernah ku lihat lagi canda tawa dari anak-anak yang masih lugu dan masih mencari jati diri disana. Bila saja sering ku lihat, tak mungkin sampai aku lupa saat-saat yang sempat kualami juga.
Coba ku telaah, dan aku yakin bahwa era adikku, ketika seumuranku saat itu(sekitar umur 8-11 tahun), hampir tak pernah lagi menyambangi area persawahan. Sejak aku mulai beranjak SMA tepatnya, hampir tak terlihat lagi ada anak-anak kecil yang bermain disana.
Lebih ramai di rental Playstation, atau lebih memilih tinggal dirumah untuk belajar menghadapi ulangan atau ujian sekolah. Makin ironi, ketika satu persatu dari area persawahan itu berubah jadi tempat tinggal bagi tetangga-tetangga baruku.
Apakah karena tuntutan rutinitas hingga tergerus oleh kesibukan? Ataukah memang hamparan sawah itu sudah tidak menarik lagi bagi mereka? Bisa jadi.
Tuntutan nilai raport bagus, atau lulus dengan nilai yang memuaskan agar dapat lanjut ke sekolah favorit bisa jadi menghantui mereka dan orangtuanya. Ditambah UAS dengan standar nilai, dimana mereka dijejali dengan les dan latihan soal-soal. Barang tentu para orangtua akan melarang anak-anaknya membuang waktu di tempat seperti itu. Tak ada lagi kesempatan untuk bermain dan menghabiskan sisa sore seperti masa kecilku dulu.
Selain itu, bagi anak-anak zaman sekarang, bermain playstation, Sega, X-Box, dan sejenisnya, terasa lebih menarik dan menghibur. Pragmatis memang. Hanya duduk berjam-jam mematung didepan layar kaca, kadang bicara sendiri, marah-marah sendiri, seperti orang gila.Terlampau imajiner bagiku!
Padahal jika sedikit saja kita semua insyafi, dengan berinteraksi disawah(alam bebas-lingkungan sekitar) seperti masa kecilku dulu, maka keperdulian akan sekeklilingnya mulai terbangun. Belajar mencintai lingkungan, menjaga, mengelola.
Bahkan disanalah anak-anak mulai berinteraksi. Membangun komunikasi, pertemanan,berkonflik, bekerjasama. Pembelajaran yang sangat sulit untuk ditanamkan hanya dengan berteori.
Masa kanak-kanak adalah saat kecerdasan berkembang dengan pesat. Input-input yang terekam dalam keseharian mereka akan sangat berpengaruh ketika dewasa.
Yasudahlah, mau apa lagi, zaman benar-benar telah berganti wajah, semakin mobile, praktis, skeptis, dan pragmatis. Hamparan sawah itu tampak tak kuat menahan arus modernisasi. Sudah mulai ditinggal oleh anak-anak yang bermain dan bisa jadi tak lama lagi ditinggal oleh sang petani.
Saat ini Ia hanya menunggu saat tanam dan panen atau saat akan dialih fungsi. Menanti ditimbun gamping dan pasir untuk dirubah menjadi kawasan pemukiman seperti petak-petak sawah lain disekitarnya.
Kenangan yang samar-samar masa lalu ini tak akan pernah terlupa(lagi). Hamparan sawah itu akan selalu melihatku pergi di pagi hari dan menantiku pulang di sore hari. Ia akan selalu berada disana, hingga nanti tiba saatnya Ia harus "berubah"... Selengkapnya...
Merenung Sejenak - Sebuah Penilaian
Namun, pernahkah kita sadari bahwa yang kita lihat "indah" tak selamanya indah? Kata2 manis hanya untuk menipu, paras tampan dan rapi akan tetapi maksud dan tindakannya busuk, prilaku yg santun tak lebih basa-basi dan kamuflase semata, apalagi ibadah yang terlihat rajin pun namun tak didasari keikhlasan dan tetap berbuat hal-hal yang maksiat. Ironi!
Itulah indra kita. Seperti ketika "melihat" dunia ini, dimana perwujutannya sesuai dengan apa yang kita lihat, dengar, atau raba. Sama halnya saat menilai orang lain.
***
Jika disadari, maka itulah kebodohan yang sering kita perbuat. Yah, hanya melihat sesuatu dari sudut pandang tertentu, yaitu dari sesuatu yang "tampak" dari sisi luar. Padahal hal tersebut masih terlampau "pagi" dalam memberikan justifikasi. Karena masih banyak sudut pandang lain yang kadang tak kita gunakan.
Bungkuslah asumsi yang masuk lewat penginderaan itu dengan "mata hati". Setidaknya, bisa sedikit lebih bijaksana tentunya. Karena tidak semua yang baik itu benar dan tidak semua yang buruk itu salah. Absurd...
Seperti yang pernah diucapkan oleh seorang sastrawan bernama Pramoedya Ananta Toer, "adil-lah sejak dalam fikiranmu". Artinya, nilailah sesuatu tidak sebatas perbuatan semata tetapi juga pertimbangkan kenapa ia melakukan itu. Nilailah "ia" saat asumsimu telah terbangun dari apa yang kamu lihat, dengar, raba, dan rasa... Selengkapnya...