Tengah malam yang gerah bercampur rasa lapar yang muncul tiba-tiba. Ku putuskan untuk mencari makanan agar bisa tidur nyenyak tanpa terusik. Dengan sigap ku ambil dompet dan kunci motor, ku buka garasi samping dan keluarlah si kuda besi.
Tak lama berselang, pulanglah aku dengan membawa sebungkus makanan. Sudah tak sabar rasanya, untuk segera menyantap. Namun seketika antusiasmeku berubah. Sesuatu seketika menjejal fikiranku.
Sesaat setelah membuka pintu garasi dan beranjak untuk memasukkan motor, seketika aku membalikkan badan dan melihat, teringat kemudian termenung...
Hamparan sawah luas didepan rumahku, tampak samar-samar di kegelapan malam, dibalut cahaya redup lampu teras dan seberkas kirana rembulan. Dia seperti sedang menatapku. Membelai lembut dengan hembusan angin yang semilir merasuk kulitku. Sejenak terasa nyaman, hilang segala penat, bahkan gerah yang sempat terasa saat berada didalam rumah.
Aku terdiam, suasana ini mensyaratkan fikiranku tuk mengingat sesuatu. Ah, kenangan yang sudah sangat lama. Kisah tentang masa kecilku,yang selalu bermain di hamparan sawah itu.
Sudah terlampau usang memang, sulit kiranya mengingat dengan rigit. Yang jelas, saat-saat itu adalah awal kepindahanku dari kota ke desa. Sebuah desa transisi , berada startegis di dekat jalan raya kota, tetapi masih banyak sawah disekitarnya.
Tak terasa sudah limabelas tahun lebih aku bertetangga dengannya. Mulai dari rumah itu berdiri gagah sendirian, hingga sekarang dimana beberapa petak sawah lainnya telah beralih menjadi bangunan-bangunan megah. Tembok-tembok raksasa yang membuat tempat tinggalku makin terusik eksistensinya.
*
Dingin makin merasuk, kuputuskan untuk masuk. Setelah selesai memarkir motor, bergegas kusantap makanan tadi di ruang tengah. Selera makanku tak seantusias tadi rupanya. Entah lantaran santapannya yang tidak enak atau mungkin animo ini memang sudah bercabang akibat renungan tadi. Meski akhirnya makanan itu kuhabiskan juga, hahaha...
Layaknya seorang filusuf besar yang perlu suatu stimulan dalam ikhtiar bermakrifatnya, maka ku hisap sebatang rokok untuk sedikit membantu otakku dalam bekerja. Yah, ternyata kejadian tadi membuat makin membuatku tak bisa tidur. Huh! Harusnya malam ini berakhir dengan nyenyak, ditutup santap malam tadi. Tapi tak apalah, setidaknya malam ini dapat sedikit bahan untuk refleksi diri.
Yah, seketika ingatan itu semakin jelas. Kenangan saat bermain bersama teman-teman baru dan untuk pertamakalinya bercengkrama di tengah hamparan sawah seperti itu. Tanpa alas kaki, tanpa uang saku, dan yang terpenting tanpa rasa takut akan resiko apapun termasuk ular dan ibu tentunya.
Tatkala sawah ditanami tebu,kami mengendap-endap mencuri batang tebu untuk dihisap saripati manisnya. Bak seorang pencuri ulung nan profesional, kami selalu bisa mengelabui pak Mandor yang sebenarnya adalah tetangga kami juga. Ah apakah benar kami yang ulung, atau memang ia sengaja membiarkannya. Dan saking seringnya, sampai tak jarang dari kami terserang batuk atau radang tenggorokan.
Ketika sawah ditanami padi, kami pun sering bermain disana. Entah main kartu di sebuah gubuk kecil di tengah-tengahnya atau menarik boneka jerami yang sengaja dibuat untuk menakuti burung-burung gereja.
Selain itu, tak jarang juga kami berburu belut atau ikan-ikan kecil di sekitar aliran sungai yang menuju ke sawah. Namun, hal yang paling berkesan adalah ketika bermain laying-layang ditengah hamparan sawah yang sangat luas itu. Memang di kota pun bisa, tapi mustahil sebebas ini tentunya. Angin yang besar, tanpa terhalang bangunan, paling-paling kabel listrik saja. Puas rasanya!
*
Hingga sampailah anganku pada sebuah pertanyaan, mengapa dewasa ini jarang sekali anak-anak mau bermain dan bercengkrama di hamparan sawah itu? Lama memang tak pernah ku lihat lagi canda tawa dari anak-anak yang masih lugu dan masih mencari jati diri disana. Bila saja sering ku lihat, tak mungkin sampai aku lupa saat-saat yang sempat kualami juga.
Coba ku telaah, dan aku yakin bahwa era adikku, ketika seumuranku saat itu(sekitar umur 8-11 tahun), hampir tak pernah lagi menyambangi area persawahan. Sejak aku mulai beranjak SMA tepatnya, hampir tak terlihat lagi ada anak-anak kecil yang bermain disana.
Lebih ramai di rental Playstation, atau lebih memilih tinggal dirumah untuk belajar menghadapi ulangan atau ujian sekolah. Makin ironi, ketika satu persatu dari area persawahan itu berubah jadi tempat tinggal bagi tetangga-tetangga baruku.
Apakah karena tuntutan rutinitas hingga tergerus oleh kesibukan? Ataukah memang hamparan sawah itu sudah tidak menarik lagi bagi mereka? Bisa jadi.
Tuntutan nilai raport bagus, atau lulus dengan nilai yang memuaskan agar dapat lanjut ke sekolah favorit bisa jadi menghantui mereka dan orangtuanya. Ditambah UAS dengan standar nilai, dimana mereka dijejali dengan les dan latihan soal-soal. Barang tentu para orangtua akan melarang anak-anaknya membuang waktu di tempat seperti itu. Tak ada lagi kesempatan untuk bermain dan menghabiskan sisa sore seperti masa kecilku dulu.
Selain itu, bagi anak-anak zaman sekarang, bermain playstation, Sega, X-Box, dan sejenisnya, terasa lebih menarik dan menghibur. Pragmatis memang. Hanya duduk berjam-jam mematung didepan layar kaca, kadang bicara sendiri, marah-marah sendiri, seperti orang gila.Terlampau imajiner bagiku!
Padahal jika sedikit saja kita semua insyafi, dengan berinteraksi disawah(alam bebas-lingkungan sekitar) seperti masa kecilku dulu, maka keperdulian akan sekeklilingnya mulai terbangun. Belajar mencintai lingkungan, menjaga, mengelola.
Bahkan disanalah anak-anak mulai berinteraksi. Membangun komunikasi, pertemanan,berkonflik, bekerjasama. Pembelajaran yang sangat sulit untuk ditanamkan hanya dengan berteori.
Masa kanak-kanak adalah saat kecerdasan berkembang dengan pesat. Input-input yang terekam dalam keseharian mereka akan sangat berpengaruh ketika dewasa.
Yasudahlah, mau apa lagi, zaman benar-benar telah berganti wajah, semakin mobile, praktis, skeptis, dan pragmatis. Hamparan sawah itu tampak tak kuat menahan arus modernisasi. Sudah mulai ditinggal oleh anak-anak yang bermain dan bisa jadi tak lama lagi ditinggal oleh sang petani.
Saat ini Ia hanya menunggu saat tanam dan panen atau saat akan dialih fungsi. Menanti ditimbun gamping dan pasir untuk dirubah menjadi kawasan pemukiman seperti petak-petak sawah lain disekitarnya.
Kenangan yang samar-samar masa lalu ini tak akan pernah terlupa(lagi). Hamparan sawah itu akan selalu melihatku pergi di pagi hari dan menantiku pulang di sore hari. Ia akan selalu berada disana, hingga nanti tiba saatnya Ia harus "berubah"...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
bad_surya106@yahoo.com. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar