Pria Itu, Dalam Impian dan Rasa Sakit

Senin, 08 Oktober 2012 by Yogi S. Harjanto

Pria itu terbaring di sebuah ranjang, tubunya lemas dan wajahnya cemas. Nampak raut wajahnya begitu memelas. Suara nafas yang lemah, menandakan tak ada lagi gairah. Kadang nyeri pada dada dan sesak nafas tiba-tiba, seperti baru melihat malaikat pencabut nyawa. Ia sakit parah.

Wajahnya yang sangar tak lagi tampak tegar. Seperangkat peralatan medis bersuara konstan dan selang pada pernafasan, menjadi penanda antara hidup dan kematian. Infus ditangan mengingatkan betapa nikmat kesehatan. Matanya berkaca-kaca jika merasa ruang kamar itu adalah tempat terahirnya.

Organ jantungnya mengalami penyempitan pembuluh akibat tersumbat. Lemak jenuh akibat obesitas memenuhi ruang-ruang pada jalur pembuluh darah. Dokter sempat terheran-heran, sejauh ini Ia mampu bertahan. Nekat! Kuat hanya dengan beberapa obat. Itupun tidak akan menyembuhkan, hanya membuat darah lebih encer agar mampu merambat dari sela-sela sumbatan.

Untung belum terlambat. Operasi adalah jalan terakhir untuk memangkas yang tersumbat. Meski begitu tak ada yang berani jamin, fisiknya kembali seperti beberapa bulan kemarin. Wajar jika Ia banyak berfikir, hidup terasa diambang akhir. Siapa yang tak akan gentar bila mendengar operasi itu butuh sekitar selusin kantung darah serta beberapa pendonor hidup yang siaga menyumbang darah segar. Belum lagi kelumpuhan yang terjadi akibat otot kaki dijadikan bahan dasar transplantasi.

Memang saat-saat seperti ini, hidup terasa begitu berarti. Pria itu bagai berada diujung tanduk. Tetap berdiam sama dengan mati perlahan, jalan bedah pun bukan sebuah harapan. Dilema antara mati konyol atau berusaha keras meski resikonya pun kurang lebih sama.


   

Tak terasa limapuluh tahun sudah Pria itu hidup di dunia. Melewati masa dengan suka dan duka. Ia tak sendiri. Ditemani seorang istri dan dua putra, membangun sebuah keluarga. Dari gaji sebagai pegawai negeri ia abdikan diri sebagai ayah sekaligus suami.

Terkadang baginya masa kecil dirasa tak adil. Tinggal bersama sembilan kakak dan tiga orang adik yang masih kecil. Tumbuh mandiri dalam fase pencarian jati diri. Saat beranjak dewasa, ayahnya buru-buru dipanggil Yang Maha Kuasa hingga tak bisa melihat saat dirinya mulai berhasil. Ia sempat dampingi sang ayah saat menemui ajal. Mungkin itu juga salah satu alasan kenapa si pesakitan tak pernah mau berobat ke rumah sakit. Trauma rupanya.

Dari sebuah ketakutan maka munculah motivasi. Motivasi akan merasuk ke alam mimpi. Meski tak boleh hanya sebatas bermimpi, tapi tanpa impian manusia tak terlalu punya arti. Jadi, ambil hikmah dari masa lalu, hingga ada sesuatu yang akan dituju. Kurang lebih itulah yang ada di benak Pria itu.

Ia ingin sukses membina rumah tangga sama seperti pendahulunya. Tidak telalu muluk, hanya tak ingin lewati saat-saat kedua buah hatinya berhasil mandiri. Cukup untuk membalas semua kerja keras, karena kenyataan itu yang tak pernah sang ayah lewati.

Hidup tak semudah yang pernah terbayang. Itulah yang jelas tergambar sekarang. penyakitnya adalah sebuah rintangan. Jika kalah, hapuslah impian dan tak mampu melampaui pencapaian ayahnya.

Kalaupun terjadi, sia-siakah semua pengorbanan? Tentu tidak. Hanya kekecewaan akan mengiringi jiwanya menuju keabadian. Benar-benar sebuah penyesalan!

Padahal tak lama lagi putra sulungnya mendapat gelar sarjana dan berdikari sebagai praktisi. Si bungsu tak jauh beda, dua semester lagi lulus dari SMA. Jika semua sesuai rencana, Ia akan bersaing masuk Korps Bhayangkara. Tak lebih sepuluh tahun lagi impian Pria itu akan terealisasi. Sungguh akhir yang ironi, jika kematian benar-benar terjadi.

   

Entah sudah lewat berapa hari sejak pertama Ia tergeletak di rumah sakit. Kondisi fisiknya sudah berangsur pulih, meski kadang masih terasa sakit. Sebenarnya tak ada yang berubah, pembuluh jantungnya masih menyempit. Serangan telak masih bisa datang sewaktu-waktu. Maka perlu ada pengawasan setiap waktu.

Dokter sudah memperbolehkan rawat jalan. Memang tak ada yang bisa dilakukan. Semua tes dan prosedur diagnosis dijalankan, operasi jadi satu-satunya jalan jika ingin memangkas sumbatan. Atau mungkin menunggu keajaiban adanya teknologi terbaru yang lebih aman.

Ruang kamar itu tampak sedikit ramai, kedua anaknya datang untuk kembali menghibur. Hampir tiap hari mereka bergantian mendampingi ayahnya. Tanpa bosan, tanpa terpaksa. Pria itu juga nampak semakin gembira.

Tak lama Istrinya datang, membawa surat pembayaran. Lunas, dan bisa segera pulang. Kemudian, diperintahkan kedua anaknya untuk membeli makan siang sebelum beranjak pulang. Itu hanyalah strategi, Ia ingin membicarakan beberapa hal yang penting pada sang suami. Sambil berkemas sang istri segera mulai pembicaraan.

Wanita itu rela jika harus menjual rumah, mobil, hingga perhiasan. Semua sudah dipersiapkan. Terpenting adalah kesembuhan. Harta bisa dicari tapi nyawa tak akan bisa diganti. Setidaknya perlu biaya ratusan juta untuk merujuknya ke rumah sakit jantung terbaik yang letaknya di Ibukota, atau jika terpaksa harus terbang ke negeri tetangga.

Mugkin ini yang namanya belahan hati. Dua puluh tahun lebih bukan waktu yang singkat untuk saling memahami. Meski tak selalu satu pikiran, asal masih menyatu dalam perasaan, maka bersama akan dihadapi semua rintangan.

Pria itu tersenyum, dan kemudian berkomentar panjang lebar. Ia tak takut lagi jika harus mati. Toh sewaktu-waktu, dimana saja tiap orang bisa meregang nyawa. Tak perlu harus memaksakan operasi toh akhirnya akan mati juga.

Biar mati konyol menyakitkan, tapi impian harus tetap jadi tujuan. Anak-anak butuh bekal materi, setidaknya hingga mampu berdikari. Jika harta habis hanya untuk pengobatan, belum tentu impian akan terealisasi, tapi mati sudah pasti. Percuma ! Percayakan pada takdir Tuhan. Meski saat dipanggil Sang Pencipta, asal impian akan kedua putranya menjadi nyata, Pria itu akan sangat bahagia walau tak bisa melewatinya bersama-sama…
________________________________________
tulisan yang ku tulis beberapa bulan sebelum Beliau tiada, seperti isyarat:)
Selengkapnya...

Posted in | 0 Comments »

Tak Pernah Terduga...

by Yogi S. Harjanto

Every Tearsdrop is waterfall-ColdPlay itu masih beralun indah di tape mobilku. Sambil bernyanyi lirih mengikuti irama nadanya, kuinjak pedal gas dalam petualanganku malam ini.  Bersama seorang kawan lama yang duduk tenang disampingku. Kami akan pergi menuju kota sebelah…

Yah, kami sedang mendapatkan panggilan tes kerja di sebuah PT milik Negara. Sebuah Persero kawakan yang pasti sudah semua orang kenal, namun masih saja dipandang sebelah mata. Perusahaan surat menyurat yang saat ini bersaing dalam jasa bursa pengiriman barang. Bahkan untuk tetap eksis, sekmentasi jasa penyimpanan uang dan jasa pembayaran tagihan pun Ia ambil.

Tak pernah aku membayangkan jika suatu saat aku akan menggunakan seragam kuning ala tukang parkir dengan label burung berwarna putih di dada. Mungkin aku adalah bagian dari orang-orang yang mendiskreditkannya. Atau mungkin di satu sisi, aku punya impian yang lebih tinggi untuk dicapai.

Tapi bagiku, saat ini hal apapun adalah peluang. Peruntungan itu datang karena usaha, bukan hanya berdiam diri. Coba-coba dan coba… Siapa tau gayung bersambut, setidaknya aku gagal setelah usaha, bukan semata-mata karena berdiam diri.

Coba ku berfikir untuk mengambil apapun yang ada di depan mata. Meski itu dikata tanpa tujuan. Biarlah. Dulu aku terlalu fokus oleh tujuanku, dan ketika hal itu tidak tercapai terbuanglah waktu sia-sia. Kali ini, biarlah aku jalani apapun yang ada di depan mata. Tak perlu berfikir panjang, karena, sulit membedakan antara “pengecut” dan “selektif”.


***

Kembali pada perjalananku di malam ini, jalanan begitu riuh oleh truk-truk dan beberapa bus malam. Padat, merayap, dan menjemukan. Sesekali suara kantuk muncul di perjalanan yang begitu lambat…

Dihidupkanlah korek api oleh temanku tadi, dan segera kunyalakan sebatang rokok untuk mengusir kantuk yang tiba tanpa diminta. Namanya Bayu, pria berpawakan tinggi besar, sedikit lebih gemuk dariku. Parasnya mirip seorang designer kawakan Ivan Gunawan, meski aku sangat berharap seleranya masih tetap pada wanita. Karena nanti aku harus bermalam bersamanya dalam satu ruangan.  Hahaha…

Tak pernah ku sangka akan ada dia di sini malam ini, tak pernah. Beberapa tahun kami tak bertemu, hilang kontak, mengudara di jejaring sosialpun hampir tak pernah saling sapa. Dulu pun kami bukan kawan dekat, hingga diantara kami memang jarang ada urusan satu sama lain.

Tapi ini nyata, saat ini kami bersama, berjuang untuk satu tujuan yaitu mencoba peruntungan. Hal yang tak kusangka-sangka, malam kemarin di komen-nya status Facebook ku, dan kita ,mulai berbincang-bincang lewat chat di Facebook.

Singkat cerita, akhirnya kami sepakat berangkat bersama. Dia urus penginapan dan satu sisi, aku handle  masalah transportasi. Kesamaan nasib dan tujuan akhirnya membuat kami bekerjasama.

***

Beginilah hidup, fikirku. Tak pernah terduga, tak pernah tertebak. “Manusia hanya bisa berencana, namun hasil itu ada di tangan Yang Kuasa”, mungkin andagium itu ada benarnya juga.

Masa depan adalah misteri, hal absurd yang bahkan tak bisa kita pastikan 100%. Kita, sebagai manusia yang berfikir, hanya bisa merencanakan dan menghadapinya. Merencanakan untuk membuat sebuah impian, konsep, demi sebuah tujuan. Menghadapinya untuk merealisasikannya, mewujudkannya, setidaknya menjalaninya ketika hal itu tak sesuai yang kita harapkan.

Seperti halnya aku malam ini, mungkin… Yang tak pernah bermimpi dan berkeinginan menjadi bagian di Perusahaan itu, atau bahkan berfikir untuk berjumpa dengan temanku tadi. Tak sama sekali…
!

Selengkapnya...

Posted in | 0 Comments »

Menulis Lagi

by Yogi S. Harjanto

Terbelenggu lelah setelah aktifitas hari ini, hingga sebuah atensi menulisku muncul kembali di tengah detik-detik menjelang pergantian waktu. Rasa letih dan malas itu menyelimuti tubuhku hingga tak sengaja kudapati sebuah notes pada jejaring sosial yang dikirim oleh seorang teman. Tanpa pikir panjang ku baca tulisan tersebut.

Tak begitu ada yang istimewa memang dalam tulisan itu hingga bisa sedikit mengugah spiritku yang sedang timbul-tenggelam. Ia memang hanya sedang bercerita ringan tentang dirinya yang menjadi “secret admirer”, dengan gaya feature tentunya.

Namun aku tau pasti, sebenarnya ada hal besar yang ingin Ia tanamkan dari apa yang pernah ditulisnya hingga saat ini. Lebih dari sekedar isi dan esensi tentunya.

***
Kembali fikiranku tertuju pada beberapa bulan yang lalu, dimana aku dan beberapa teman (termasuk diantaranya “si Penulis” diatas) tanpa sengaja mencetuskan sebuah Group. Kelompok menulis yang membenalukan diri pada sebuah jejaring sosial. Terbentuk oleh beberapa teman yang tergabung dalam organisasi kampus di bidang jurnalistik.

Dengan tujuan sok bijak yaitu memupuk budaya menulis, sembari menjajal asas learning by doing. Benar adanya jika ilmu jurnalistik itu “bisa karena terbiasa”. Cukup bermodal keberanian, diejawantahkan, dan teori-teori lain cukup mengikuti saja. Terbukti, banyak karya tercipta…

Beberapa bulan yang produktif. Saling menginstropeksi satu dan lainnya, baik senior maupun para junior berbaur tanpa ada kasta dan tanpa sakit hati tentunya. Sanksi moral bagi yang telat posting, sanksi sosial bagi yang tidak posting, hahaha... Yah, kami selalu adakan pertemuan di sebuah warung Burjo dekat kampus setelah deadline tiba.

Sampai akhirnya di beberapa bulan terakhir, Group itu sepi karena angota-angotanya bosan, dan sibuk sendiri. Termasuk diriku yang sedang berusaha bangkit dari keterpurukan atas beberapa hal yang sempat menyambangiku.

Grup menulis yang (hampir) jadi kenangan tanpa ada yang mencatatkan sepak terjangnya. Sungguh ironi…

***
Tuts-tuts laptop ini bernyanyi memecah keheningan malam, tanganku masih berkutat memainkannya. Makin asyik memainkannya bak Ludwig van Beethoven dengan pianonya. Betapa asyiknya hingga aku takjub bahwa kata demi kata yang bermunculan di layar ini tercipta dengan sendirinya, alakadarnya namun begitu bisa dinikmati.

Sudah beberapa bulan ini memang ku putuskan untuk berhenti menulis. Karena tak pernah ku selesaikan apa yang pernah coba ku tulis. Entah kenapa…

Ah, kembali pada temanku “si Penulis” tadi, dia lah satu-satunya orang yang masih bertahan untuk terus dan terus menulis. Tak pernah Ia terpengaruh oleh kealpaan yang lain. Hanya karena dirinya lah Group tersebut selalu luput dari maut. Hingga saat ini…

Malam ini aku tergugah, bukan karena isi tulisan temanku itu, tapi karena kenapa dia masih menulis. Konsisten meski tak ada yang memaksanya untuk menulis. Aku yakin bahwa sejatinya menulis itu adalah kebutuhan baginya bahkan bagi setiap orang yang menyadarinya.
.
***
Lewat tulisan ini, sebenarnya aku coba untuk berbagi, khususnya pada kawan-kawanku yang pernah satu wadah dalam komunitas ini. Jika memang masih ada atensi untuk berdinamika, sudah saatnya kita bangkit lagi. Bahwa diam itu tak beda dengan mati.

Menulis bukan sekedar menciptakan karya, bukan juga (hanya) untuk alat perjuangan dan mempengaruhi.

Maka tak perlu banyak berfikir, tak perlu banyak mencari input. Tak perlu banyak menunggu feel. Sayang jika apa yang selama ini kita alami tak pernah terdokumentasi. Hanya akan hilang, tertelan oleh hal-hal baru yang membuat kita lupa, dan begitu seterusnya.

Menulis itu adalah kebahagiaan. Menumpahkan beban dalam pikiran saat kita mulai menuangkan ide-ide yang ada dalam kata dan cerita. Membuat kita semakin kenal akan diri sendiri ketika proses editing dan kita membacanya kembali, bak melihat wajah kita di dalam cermin. Dan menjadi sebuah kepercayaan diri saat kita berani mempublikasikannya.

Biarkan tanganmu bermain, biarkan pikiran itu mengarahkan dengan sendirinya dan biarkan perasaan menggelora agar hal itu bisa memunculkan letupan-letupan kecil dalam karyamu. Menulis itu mudah, maka Tulislah
Selengkapnya...

Posted in | 0 Comments »

DEDIKASI

Jumat, 17 Juni 2011 by Yogi S. Harjanto

GEPLAKAN 18 MEI 2011. Pukul 03.00WIB. Pagi ini terasa begitu lelah, tapi entah kenapa mata tak kunjung bisa dipejamkan. Aktifitas hari ini yang padat tak menjadikan rasa kantuk mendekat. Satu jam yang lalu aku baru tiba sejak kepergianku sejak tadi siang. Menghadiri acara besar sebuah organisasi sosial. Organisasi kemahasiswaan yang sempat aku kenyam semasa kuliah. Musyawarah Besar, begitu kami menyebut acara itu.

Akhirnya kuputuskan untuk menulis sebuah tulisan. Ku buka notebook dan tak lupa membawa sedikit cemilan. Coba mendokumentasikan buah fikiran menjadi sebuah feature. Ku dedikasikan kepada mereka yang sudah berjuang. Orang-orang hebat yang sudah banyak berkorban demi suatu tujuan, bahkan tanpa ada pengakuan.

Sebenarnya tak ada hal baru. Yah, sejak pertama kali mengikuti hingga sekarang memang belum ada yang berubah drastis dari segi acara maupun atmosfirnya, hanya para pelakunya saja yang pasti berganti. Tapi hal itu sama sekali tak mengurungkan niatku untuk menuliskan cerita ini tentunya. Memang tidak aktual, tapi terlupakan tepatnya. Mungkin ini adalah sebuah fase dimana seseorang makin mendalami sesuatu, maka ia akan semakin peka terhadap fenomena-fenomena yang kadang tidak setiap orang pahami.

Maka ku awali tulisan ini dengan sebuah perwujudan kata, yaitu “dedikasi”.

KALIURANG, 17 MEI 2011. Sore itu sekitar pukul 17.00 WIB, Wisma Al-Kindi menjadi saksi bagaimana forum itu berlangsung. Baru saja agenda LPJ(laporan Pertanggung Jawaban) Departemen Litbang dibacakan. Acara memang sempat terhenti karena harus berpindah wisma, dari Wisma BIK ke sini. Perdebatan yang alot mampu membuat pembahasan sampai bisa molor jauh dari prediksi. Luar biasa!

Masih berkutat dengan lelahku. Maklum, beberapa jam yang lalu baru saja tiba dari Ibukota. Tapi tak mungkin rasanya bisa beristirahat tanpa berpartisipasi, karena hari ini adalah hari terakhir. Berusaha untuk tetap fokus sambil coba mengejar ketertinggalan. Memang sudah banyak pembahasan yang terlewat, akibat urusanku tadi.

Kursi-kursi tertata seperti ruang kuliah, tak seperti ruang sidang umumnya yang berbentuk “leter U”. Aku duduk di pojok kiri barisan paling depan, berbaur bersama sekitar 30 orang diruangan tersebut. Sebagian besar diantaranya anggota baru, selebihya adalah pengurus dan dewan pengawas (bentukan yang bertugas mengawasi jalannya kepengurusan). Akulah satu-satunya alumni disana. Meski begitu kurasa sama seperti mereka, karena aku juga dewan pengawas di periode ini, yang bertanggungjawab pada kinerja pengurus. Hanya saja, sempat berubah status karena lulus sebelum periode berakhir.

Disebelahku berderet para dewan pengawas. Apri, Adin, Rudy, dan Edho. Merekalah amunisi yang tersisa. Seorang anggota lain bernama Andy pulang ke kost sesaat sebelum pelaporan Departemen Litbang dimulai, ia pendadaran esok harinya. Seorang lagi yang tak tampak adalah Dika, yang sudah dinonaktifkan dari jabatan. Ditambah aku maka jumlah kami yang bertujuh, sehingga dulu sempat mendapat julukan sebagai “tujuh baladewa”.

Nampak wajah lelah dan sayu, meski sesekali terdengar suara lantang dari mulut mereka. Memaksakan diri sepertinya. Kondisi yang seharusnya lebih dirasakan angota baru sebagai penitia atau pengurus yang sepatutnya tertekan akibat kesalahan-kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan. Ada apa dengan mereka?

Tak seorangpun yanga ada disana memahaminya, mungkin menggubris pun tidak. Kecuali diriku tentunya. Mereka adalah kawan-kawanku, yang telah melewati satu periodesasi kepengurusan. Bahkan ditambah satu periode lagi sebagai seorang “pengajar”. Mampu menngkolaborasikan pemikiran, mengelola pertikaian, bahkan saling menutupi kekurangan. Itulah yang namanya profesional dalam persahabatan. Memanfaatkan keakraban untuk belajar, bukan sekedar memaklumi bahkan mengingatkan, tapi juga dalam hal mewujudkan impian. Ya, salah satunya dalam mewujudkan tujuan organisasi ini.

Memang terlalu manis penggambaran diatas, tapi begitulah adanya. Walau tak dipungkiri, kami tak lepas dari kekurangan. Terlebih pada diriku. Sering menghilang saat dibutuhkan, sering sumbangkan pemikiran, tapi jarang terealisasikan. Sempat merasa seorang pengkhianat, saat harus lulus duluan, meninggalkan mereka dengan seabrek beban.

Maka hingga saat ini, bayang-bayang mereka lah yang membuatku masih bertahan, disamping tanggungjawab moral akan impian “bersama” tentunya. Sesaat teringat akan diriku saat ini, masih berkutat dengan disorientasi, berjuang mengejar ambisi pribadi, bergelut melawan tekanan waktu dan kelemahan. Huh! Mereka tak lebih mujur karena masih harus terbelenggu tanggungjawab formal dan beban moral mengurusi organisasi ini, tak pantas kiranya aku mengeluh.

Semestinya jadi alumni merupakan suatu kemudahan. Saat-saat menjadi manusia yang “bebas” yang bertindak untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, jika menengok kondisi tersebut, tak mungkin rasanya hanya berdiam diri. Hidupku memang tak sedang mapan, tapi mereka yang bertahan pun masih bisa berjuang ditengah hegemoni masalah-masalah pribadi. Masalah yang tak banyak orang ketahui.

Yah, betapa pilu pasti hati mereka. Berkorban segalanya ditengah problematika, sudah hasil tak maksimal, ditambah penghargaan akan jasa pun tak ada. Masalah terbaru yaitu selama berjalannya acara, dimana banyak asumsi negatif pada pribadi mereka. Dianggap tak konsisten bicara, dirasa tak punya hati dalam menekan. Sikap-sikap heroik yang harusnya diambil sisi pembelajaran, justru lebih dinilai dari tata pembahasaan.

AL KINDI 17 MEI 2011. Tempat itu benar-benar terasa gerah bagi tiap orang. Sudah gerah akibat hasil laporan pertanggungjawaban dari keseluruhan pengurus, di bumbui pekikan para anggota yang sudah jengah dirundung gelisah. Mereka harus kuliah pagi, atau sudah di tekan orang tua untuk pulang akibat disangka ikut aliran-aliran sesat. Ada-ada saja masalah ini.

Rasa lelah bercampur kantuk kembali menghinggap. Kurasai tak menarik lagi forum evaluasi ini. Sejak pembahasan bendahara hingga ketua, aku memang tak duduk ditempat semula. Duduk dibarisan belakang bersama beberapa pengurus dan anggota. Sedikit berbisik sambil bercanda, mencairkan suasana yang kaku. Tak baik sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi, forum harus dicairkan.

Akhirnya selesai sudah evaluasi pertanggungjawaban seluruh pengurus. Diakhiri dengan anti klimaks, karena sang pemimpin tak hadir akibat pemulihan pasca operasi. Dilanjutkan dengan penentuan hasil laporan. Singkatnya, diputuskan bahwa laporan pertanggungjawaban kepengurusan periode ini ditolak. Hening sejenak. tak ada satupu pengurus yang menyalak. Namun bisa terasa bagaimana isi hati mereka.

Kecewa. Itulah kata yang muncul di hati para pengurus. Tak lupa tetesan air mata dan mimik wajah berduka menghiasi beberapa dari mereka. Tak banyak berkata-kata, tak ada pembelaan.

Wajar bagiku, mereka sudah merasa berkorban demi terlaksananya program kerja. Terlebih harus menerima kritik dan tekanan baik sebelum hingga berakhirnya tiap kegiatan yang telah terselenggara. Bahkan bila meninjau sisi progres, pada periode inilah inovasi benar-benar dimaksimalkan, bahkan organisasi lain pun belum tentu bisa berkarya seperti mereka. Sepintas memang tampak sia-sia.

Tuhan pun menilai proses! Mungkin itu ucapan sakral yang akan selalu aku utarakan. Tak ada yang ajaib di dunia ini. Saat dilihat hasil, maka selama proses tak adil jika hanya pengurus yang dinilai punya andil. Kami dewan pengawas dan anggota baru tak bisa di hilangkan dari hitungan. Andil dalam kepanitiaan, tim perumus, atau hanya sebagai peserta dalam kegiatan. Menutupi sendi-sendi kerapuhan pengurus demi mencapai hasil yang baik.

Kepengurusan ini memang kehilangan jati diri. Idealnya jadi ujung tombak organisasi, malah tumpul akibat terkepung oleh masalah-masalah sepele yang berlebihan saat disikapi. Jangankan sampai pada tahapan “menguasai”, untuk merasa ada pembelajaran berorganisasi saja tidak. Tak ada kontekstual yang masuk dari tiap arahan, hanya sebatas tekstual yang kemudian disikapi negatif. Maka, ku wajari pula jika laporan tersebut ditolak.

Maaf. Sama sekali tak ada maksud mencaci dalam tulisan ini. Karena sadarkah semuanya, siapa yang patut merasa paling bersalah? Penguruskah? Ketuakah? Jawabannya “tidak!” Dewan pemgawaslah yang merasa paling bersalah atas kegagalan meski ujung-ujungnya mereka sendiri yang memutuskan untuk menolak laporan.

Ku ibaratkan seperti seorang guru yang harus memutuskan siswanya tinggal kelas, padahal ia sudah mendidiknya habis-habisan. Pantaskah sang guru dipersalahkan? Tidak. Tapi, wajarkah jika ia yang merasa paling bersalah? Ya! Si murid bisa saja tetap tinggal kelas atau keluar dari sekolah, tapi sang guru pasti akan tetap mengajar walaupun suatu saat akan menghadapi murid-murid yang sama seperti murid itu. Begitulah beratnya transformasi yang harus benar-benar kita sadari.

AL KINDI 18 MEI 2011. Masih ditempat itu. Menjelang dini hari, lewat Pukul 00.00 WIB, suasana sudah sedikit cair. Acara berikutnya adalah pemilihan ketua. Seorang pria mungil bernama Guntur Urana terpilih menjadi ketua. Suasana sedikit meriah, pemilihan mandataris baru memang hal yang paling ditunggu-tunggu banyak pihak. Namun tidak untukku, sama sekali tak menarik. Karena saat pemilihan anggota dewan pengawas yang baru lah, justru hatiku merasa tersentuh.

Prosesi itu dilakukan setelah pemilihan ketua. Terakhir sebelum penutupan oleh ketua panitia. Forum menjadi terlalu cair karena peserta sudah ingin segera pulang. Tak ada penghargaan berarti bagi pemilihan dan penetapan untuk sebuah bagian dari organisasi yang bertugas tak hanya sebagai “polisi” tapi juga sebagai “guru”.

Hatiku makin terketuk, ketika aku ingat lima orang diantara mereka yang terpilih adalah dewan pengawas lama. Apri, Adhin, Rudy, Edho, dan Andy. Nama terakhir memang tak ada dalam forum itu, tapi ujar salah satu peserta, pria yang beberapa jam lagi akan pendadaran ini menyatakan kesediaannya untuk kembali menjabat sebagai dewan pengawas. Meski sifat kemahasiswaannya mungkin akan berakhir tak lama lagi, hanya menunggu wisuda saja.

Akhirnya acara itu berakhir dengan pidato singkat ketua panitia. Tapi (semoga) tidak dengan keberlangsungan organisasi. Karena tak ada yang bisa pastikan nanti jika persepsi masih seperti ini. mungkin hanya akan mengorbankan beberapa pihak saja, tanpa ada sedikitpun penghargaan. Sebagian besar lainnya pergi tanpa perduli, hanya karena merasa tidak nyaman dan tak dapat yang diinginkan.

Kita semua lupa akan suatu hal yang disebut “dedikasi”. Dalam lingkup masyarakat kecil bernama organisasi, dedikasi itulah pembelajaran yang paling hakiki. Hanya saja kita semua sadar atau tidak, akan hal tersebut. Jika tidak sadar, maka sangat wajar bila merasa selama ini tak dapat apa-apa. Hanya menuai lelah, menambah musuh, atau menggangu akademis. Tak perlu kiranya diperdebatkan, baiknya kita tanya diri kita sendiri.

Tegas bagiku mengakuinya. Jawaban yang pasti diamini oleh ke lima sahabatku tadi. Karena jelas pula dedikasi mereka. Mau kembali menjabat dewan pengawas, dimasa-masa akhir studinya. waktu dimana seharusnya tiap orang sudah berkutat dengan buku, artikel, internet, dan komputer, menyusun skripsi.

Namun perlu kembali diingat, se-heroik apa mereka berkorban, tetap saja waktu memberi sebuah batasan. Waktu pula yang megkotak-kotakkan hingga tercipta senior-junior yang terpisah karena pengalaman. Waktu akan mengikis mereka yang semakin “tua”. Bukan untuk menghilangkan kemampuan mereka, tetapi untuk menempatkannya pada ruang lingkup yang lebih luas lagi.

Seperti halnya teori residu, dimana mereka bahkan halnya aku dan alumni lainnya. Di organisasi saat ini kami hanyalah “sisa”, yang penuh akan dilema. Jika terlampau dijaga maka mencemari yang masih baru, namun bila dibuang seketika tak lebih buruk hasilnya. Karena yang baru tak pernah bisa berkaca dan belajar dari pengalaman yang kami punya.

Maka biarkanlah aku dan atau mereka hilang sesuai waktu dan digantikan oleh tenaga-tenaga muda yang memiliki kesamaan visi, melanjutkan apa yang telah kami bangun. Jangan paksa kami “ada” saat waktu tak mengharapkannya. Ingat bahwa dedikasi tak sama dengan pengorbanan.

Setiap orang ada zamannya dan (semoga) setiap zaman ada orangnya. Sadar adalah kuncinya dan dedikasi adalah modal utamanya. Biarkan masa yang terlewati menjadi pembelajaran dan yang akan datang menjadi cita-cita.
Selengkapnya...

Posted in Label: | 0 Comments »

HAMPARAN SAWAH ITU

by Yogi S. Harjanto

Tengah malam yang gerah bercampur rasa lapar yang muncul tiba-tiba. Ku putuskan untuk mencari makanan agar bisa tidur nyenyak tanpa terusik. Dengan sigap ku ambil dompet dan kunci motor, ku buka garasi samping dan keluarlah si kuda besi.

Tak lama berselang, pulanglah aku dengan membawa sebungkus makanan. Sudah tak sabar rasanya, untuk segera menyantap. Namun seketika antusiasmeku berubah. Sesuatu seketika menjejal fikiranku.

Sesaat setelah membuka pintu garasi dan beranjak untuk memasukkan motor, seketika aku membalikkan badan dan melihat, teringat kemudian termenung...

Hamparan sawah luas didepan rumahku, tampak samar-samar di kegelapan malam, dibalut cahaya redup lampu teras dan seberkas kirana rembulan. Dia seperti sedang menatapku. Membelai lembut dengan hembusan angin yang semilir merasuk kulitku. Sejenak terasa nyaman, hilang segala penat, bahkan gerah yang sempat terasa saat berada didalam rumah.

Aku terdiam, suasana ini mensyaratkan fikiranku tuk mengingat sesuatu. Ah, kenangan yang sudah sangat lama. Kisah tentang masa kecilku,yang selalu bermain di hamparan sawah itu.

Sudah terlampau usang memang, sulit kiranya mengingat dengan rigit. Yang jelas, saat-saat itu adalah awal kepindahanku dari kota ke desa. Sebuah desa transisi , berada startegis di dekat jalan raya kota, tetapi masih banyak sawah disekitarnya.

Tak terasa sudah limabelas tahun lebih aku bertetangga dengannya. Mulai dari rumah itu berdiri gagah sendirian, hingga sekarang dimana beberapa petak sawah lainnya telah beralih menjadi bangunan-bangunan megah. Tembok-tembok raksasa yang membuat tempat tinggalku makin terusik eksistensinya.

*

Dingin makin merasuk, kuputuskan untuk masuk. Setelah selesai memarkir motor, bergegas kusantap makanan tadi di ruang tengah. Selera makanku tak seantusias tadi rupanya. Entah lantaran santapannya yang tidak enak atau mungkin animo ini memang sudah bercabang akibat renungan tadi. Meski akhirnya makanan itu kuhabiskan juga, hahaha...

Layaknya seorang filusuf besar yang perlu suatu stimulan dalam ikhtiar bermakrifatnya, maka ku hisap sebatang rokok untuk sedikit membantu otakku dalam bekerja. Yah, ternyata kejadian tadi membuat makin membuatku tak bisa tidur. Huh! Harusnya malam ini berakhir dengan nyenyak, ditutup santap malam tadi. Tapi tak apalah, setidaknya malam ini dapat sedikit bahan untuk refleksi diri.

Yah, seketika ingatan itu semakin jelas. Kenangan saat bermain bersama teman-teman baru dan untuk pertamakalinya bercengkrama di tengah hamparan sawah seperti itu. Tanpa alas kaki, tanpa uang saku, dan yang terpenting tanpa rasa takut akan resiko apapun termasuk ular dan ibu tentunya.

Tatkala sawah ditanami tebu,kami mengendap-endap mencuri batang tebu untuk dihisap saripati manisnya. Bak seorang pencuri ulung nan profesional, kami selalu bisa mengelabui pak Mandor yang sebenarnya adalah tetangga kami juga. Ah apakah benar kami yang ulung, atau memang ia sengaja membiarkannya. Dan saking seringnya, sampai tak jarang dari kami terserang batuk atau radang tenggorokan.

Ketika sawah ditanami padi, kami pun sering bermain disana. Entah main kartu di sebuah gubuk kecil di tengah-tengahnya atau menarik boneka jerami yang sengaja dibuat untuk menakuti burung-burung gereja.

Selain itu, tak jarang juga kami berburu belut atau ikan-ikan kecil di sekitar aliran sungai yang menuju ke sawah. Namun, hal yang paling berkesan adalah ketika bermain laying-layang ditengah hamparan sawah yang sangat luas itu. Memang di kota pun bisa, tapi mustahil sebebas ini tentunya. Angin yang besar, tanpa terhalang bangunan, paling-paling kabel listrik saja. Puas rasanya!

*

Hingga sampailah anganku pada sebuah pertanyaan, mengapa dewasa ini jarang sekali anak-anak mau bermain dan bercengkrama di hamparan sawah itu? Lama memang tak pernah ku lihat lagi canda tawa dari anak-anak yang masih lugu dan masih mencari jati diri disana. Bila saja sering ku lihat, tak mungkin sampai aku lupa saat-saat yang sempat kualami juga.

Coba ku telaah, dan aku yakin bahwa era adikku, ketika seumuranku saat itu(sekitar umur 8-11 tahun), hampir tak pernah lagi menyambangi area persawahan. Sejak aku mulai beranjak SMA tepatnya, hampir tak terlihat lagi ada anak-anak kecil yang bermain disana.

Lebih ramai di rental Playstation, atau lebih memilih tinggal dirumah untuk belajar menghadapi ulangan atau ujian sekolah. Makin ironi, ketika satu persatu dari area persawahan itu berubah jadi tempat tinggal bagi tetangga-tetangga baruku.

Apakah karena tuntutan rutinitas hingga tergerus oleh kesibukan? Ataukah memang hamparan sawah itu sudah tidak menarik lagi bagi mereka? Bisa jadi.

Tuntutan nilai raport bagus, atau lulus dengan nilai yang memuaskan agar dapat lanjut ke sekolah favorit bisa jadi menghantui mereka dan orangtuanya. Ditambah UAS dengan standar nilai, dimana mereka dijejali dengan les dan latihan soal-soal. Barang tentu para orangtua akan melarang anak-anaknya membuang waktu di tempat seperti itu. Tak ada lagi kesempatan untuk bermain dan menghabiskan sisa sore seperti masa kecilku dulu.

Selain itu, bagi anak-anak zaman sekarang, bermain playstation, Sega, X-Box, dan sejenisnya, terasa lebih menarik dan menghibur. Pragmatis memang. Hanya duduk berjam-jam mematung didepan layar kaca, kadang bicara sendiri, marah-marah sendiri, seperti orang gila.Terlampau imajiner bagiku!

Padahal jika sedikit saja kita semua insyafi, dengan berinteraksi disawah(alam bebas-lingkungan sekitar) seperti masa kecilku dulu, maka keperdulian akan sekeklilingnya mulai terbangun. Belajar mencintai lingkungan, menjaga, mengelola.

Bahkan disanalah anak-anak mulai berinteraksi. Membangun komunikasi, pertemanan,berkonflik, bekerjasama. Pembelajaran yang sangat sulit untuk ditanamkan hanya dengan berteori.

Masa kanak-kanak adalah saat kecerdasan berkembang dengan pesat. Input-input yang terekam dalam keseharian mereka akan sangat berpengaruh ketika dewasa.

Yasudahlah, mau apa lagi, zaman benar-benar telah berganti wajah, semakin mobile, praktis, skeptis, dan pragmatis. Hamparan sawah itu tampak tak kuat menahan arus modernisasi. Sudah mulai ditinggal oleh anak-anak yang bermain dan bisa jadi tak lama lagi ditinggal oleh sang petani.

Saat ini Ia hanya menunggu saat tanam dan panen atau saat akan dialih fungsi. Menanti ditimbun gamping dan pasir untuk dirubah menjadi kawasan pemukiman seperti petak-petak sawah lain disekitarnya.

Kenangan yang samar-samar masa lalu ini tak akan pernah terlupa(lagi). Hamparan sawah itu akan selalu melihatku pergi di pagi hari dan menantiku pulang di sore hari. Ia akan selalu berada disana, hingga nanti tiba saatnya Ia harus "berubah"...
Selengkapnya...

Posted in Label: | 0 Comments »

Merenung Sejenak - Sebuah Penilaian

Rabu, 15 Juni 2011 by Yogi S. Harjanto

Mari renungkan sejenak apa yg kita pandang selama ini ketika menilai orang lain. Sadar atau tidak, sisi kebaikan hanya kita lihat dari bagaimana orang itu berbicara, bersikap, berbusana atau sisi ibadahnya. Sebuah penilaian yang didasarkan pada apa yang "tampak" saja...

Namun, pernahkah kita sadari bahwa yang kita lihat "indah" tak selamanya indah? Kata2 manis hanya untuk menipu, paras tampan dan rapi akan tetapi maksud dan tindakannya busuk, prilaku yg santun tak lebih basa-basi dan kamuflase semata, apalagi ibadah yang terlihat rajin pun namun tak didasari keikhlasan dan tetap berbuat hal-hal yang maksiat. Ironi!

Itulah indra kita. Seperti ketika "melihat" dunia ini, dimana perwujutannya sesuai dengan apa yang kita lihat, dengar, atau raba. Sama halnya saat menilai orang lain.

***

Jika disadari, maka itulah kebodohan yang sering kita perbuat. Yah, hanya melihat sesuatu dari sudut pandang tertentu, yaitu dari sesuatu yang "tampak" dari sisi luar. Padahal hal tersebut masih terlampau "pagi" dalam memberikan justifikasi. Karena masih banyak sudut pandang lain yang kadang tak kita gunakan.

Bungkuslah asumsi yang masuk lewat penginderaan itu dengan "mata hati". Setidaknya, bisa sedikit lebih bijaksana tentunya. Karena tidak semua yang baik itu benar dan tidak semua yang buruk itu salah. Absurd...

Seperti yang pernah diucapkan oleh seorang sastrawan bernama Pramoedya Ananta Toer, "adil-lah sejak dalam fikiranmu". Artinya, nilailah sesuatu tidak sebatas perbuatan semata tetapi juga pertimbangkan kenapa ia melakukan itu. Nilailah "ia" saat asumsimu telah terbangun dari apa yang kamu lihat, dengar, raba, dan rasa...
Selengkapnya...

Posted in Label: | 0 Comments »
bad_surya106@yahoo.com. Diberdayakan oleh Blogger.