Pria Itu, Dalam Impian dan Rasa Sakit

Senin, 08 Oktober 2012 by Yogi S. Harjanto

Pria itu terbaring di sebuah ranjang, tubunya lemas dan wajahnya cemas. Nampak raut wajahnya begitu memelas. Suara nafas yang lemah, menandakan tak ada lagi gairah. Kadang nyeri pada dada dan sesak nafas tiba-tiba, seperti baru melihat malaikat pencabut nyawa. Ia sakit parah.

Wajahnya yang sangar tak lagi tampak tegar. Seperangkat peralatan medis bersuara konstan dan selang pada pernafasan, menjadi penanda antara hidup dan kematian. Infus ditangan mengingatkan betapa nikmat kesehatan. Matanya berkaca-kaca jika merasa ruang kamar itu adalah tempat terahirnya.

Organ jantungnya mengalami penyempitan pembuluh akibat tersumbat. Lemak jenuh akibat obesitas memenuhi ruang-ruang pada jalur pembuluh darah. Dokter sempat terheran-heran, sejauh ini Ia mampu bertahan. Nekat! Kuat hanya dengan beberapa obat. Itupun tidak akan menyembuhkan, hanya membuat darah lebih encer agar mampu merambat dari sela-sela sumbatan.

Untung belum terlambat. Operasi adalah jalan terakhir untuk memangkas yang tersumbat. Meski begitu tak ada yang berani jamin, fisiknya kembali seperti beberapa bulan kemarin. Wajar jika Ia banyak berfikir, hidup terasa diambang akhir. Siapa yang tak akan gentar bila mendengar operasi itu butuh sekitar selusin kantung darah serta beberapa pendonor hidup yang siaga menyumbang darah segar. Belum lagi kelumpuhan yang terjadi akibat otot kaki dijadikan bahan dasar transplantasi.

Memang saat-saat seperti ini, hidup terasa begitu berarti. Pria itu bagai berada diujung tanduk. Tetap berdiam sama dengan mati perlahan, jalan bedah pun bukan sebuah harapan. Dilema antara mati konyol atau berusaha keras meski resikonya pun kurang lebih sama.


   

Tak terasa limapuluh tahun sudah Pria itu hidup di dunia. Melewati masa dengan suka dan duka. Ia tak sendiri. Ditemani seorang istri dan dua putra, membangun sebuah keluarga. Dari gaji sebagai pegawai negeri ia abdikan diri sebagai ayah sekaligus suami.

Terkadang baginya masa kecil dirasa tak adil. Tinggal bersama sembilan kakak dan tiga orang adik yang masih kecil. Tumbuh mandiri dalam fase pencarian jati diri. Saat beranjak dewasa, ayahnya buru-buru dipanggil Yang Maha Kuasa hingga tak bisa melihat saat dirinya mulai berhasil. Ia sempat dampingi sang ayah saat menemui ajal. Mungkin itu juga salah satu alasan kenapa si pesakitan tak pernah mau berobat ke rumah sakit. Trauma rupanya.

Dari sebuah ketakutan maka munculah motivasi. Motivasi akan merasuk ke alam mimpi. Meski tak boleh hanya sebatas bermimpi, tapi tanpa impian manusia tak terlalu punya arti. Jadi, ambil hikmah dari masa lalu, hingga ada sesuatu yang akan dituju. Kurang lebih itulah yang ada di benak Pria itu.

Ia ingin sukses membina rumah tangga sama seperti pendahulunya. Tidak telalu muluk, hanya tak ingin lewati saat-saat kedua buah hatinya berhasil mandiri. Cukup untuk membalas semua kerja keras, karena kenyataan itu yang tak pernah sang ayah lewati.

Hidup tak semudah yang pernah terbayang. Itulah yang jelas tergambar sekarang. penyakitnya adalah sebuah rintangan. Jika kalah, hapuslah impian dan tak mampu melampaui pencapaian ayahnya.

Kalaupun terjadi, sia-siakah semua pengorbanan? Tentu tidak. Hanya kekecewaan akan mengiringi jiwanya menuju keabadian. Benar-benar sebuah penyesalan!

Padahal tak lama lagi putra sulungnya mendapat gelar sarjana dan berdikari sebagai praktisi. Si bungsu tak jauh beda, dua semester lagi lulus dari SMA. Jika semua sesuai rencana, Ia akan bersaing masuk Korps Bhayangkara. Tak lebih sepuluh tahun lagi impian Pria itu akan terealisasi. Sungguh akhir yang ironi, jika kematian benar-benar terjadi.

   

Entah sudah lewat berapa hari sejak pertama Ia tergeletak di rumah sakit. Kondisi fisiknya sudah berangsur pulih, meski kadang masih terasa sakit. Sebenarnya tak ada yang berubah, pembuluh jantungnya masih menyempit. Serangan telak masih bisa datang sewaktu-waktu. Maka perlu ada pengawasan setiap waktu.

Dokter sudah memperbolehkan rawat jalan. Memang tak ada yang bisa dilakukan. Semua tes dan prosedur diagnosis dijalankan, operasi jadi satu-satunya jalan jika ingin memangkas sumbatan. Atau mungkin menunggu keajaiban adanya teknologi terbaru yang lebih aman.

Ruang kamar itu tampak sedikit ramai, kedua anaknya datang untuk kembali menghibur. Hampir tiap hari mereka bergantian mendampingi ayahnya. Tanpa bosan, tanpa terpaksa. Pria itu juga nampak semakin gembira.

Tak lama Istrinya datang, membawa surat pembayaran. Lunas, dan bisa segera pulang. Kemudian, diperintahkan kedua anaknya untuk membeli makan siang sebelum beranjak pulang. Itu hanyalah strategi, Ia ingin membicarakan beberapa hal yang penting pada sang suami. Sambil berkemas sang istri segera mulai pembicaraan.

Wanita itu rela jika harus menjual rumah, mobil, hingga perhiasan. Semua sudah dipersiapkan. Terpenting adalah kesembuhan. Harta bisa dicari tapi nyawa tak akan bisa diganti. Setidaknya perlu biaya ratusan juta untuk merujuknya ke rumah sakit jantung terbaik yang letaknya di Ibukota, atau jika terpaksa harus terbang ke negeri tetangga.

Mugkin ini yang namanya belahan hati. Dua puluh tahun lebih bukan waktu yang singkat untuk saling memahami. Meski tak selalu satu pikiran, asal masih menyatu dalam perasaan, maka bersama akan dihadapi semua rintangan.

Pria itu tersenyum, dan kemudian berkomentar panjang lebar. Ia tak takut lagi jika harus mati. Toh sewaktu-waktu, dimana saja tiap orang bisa meregang nyawa. Tak perlu harus memaksakan operasi toh akhirnya akan mati juga.

Biar mati konyol menyakitkan, tapi impian harus tetap jadi tujuan. Anak-anak butuh bekal materi, setidaknya hingga mampu berdikari. Jika harta habis hanya untuk pengobatan, belum tentu impian akan terealisasi, tapi mati sudah pasti. Percuma ! Percayakan pada takdir Tuhan. Meski saat dipanggil Sang Pencipta, asal impian akan kedua putranya menjadi nyata, Pria itu akan sangat bahagia walau tak bisa melewatinya bersama-sama…
________________________________________
tulisan yang ku tulis beberapa bulan sebelum Beliau tiada, seperti isyarat:)
Selengkapnya...

Posted in | 0 Comments »

Tak Pernah Terduga...

by Yogi S. Harjanto

Every Tearsdrop is waterfall-ColdPlay itu masih beralun indah di tape mobilku. Sambil bernyanyi lirih mengikuti irama nadanya, kuinjak pedal gas dalam petualanganku malam ini.  Bersama seorang kawan lama yang duduk tenang disampingku. Kami akan pergi menuju kota sebelah…

Yah, kami sedang mendapatkan panggilan tes kerja di sebuah PT milik Negara. Sebuah Persero kawakan yang pasti sudah semua orang kenal, namun masih saja dipandang sebelah mata. Perusahaan surat menyurat yang saat ini bersaing dalam jasa bursa pengiriman barang. Bahkan untuk tetap eksis, sekmentasi jasa penyimpanan uang dan jasa pembayaran tagihan pun Ia ambil.

Tak pernah aku membayangkan jika suatu saat aku akan menggunakan seragam kuning ala tukang parkir dengan label burung berwarna putih di dada. Mungkin aku adalah bagian dari orang-orang yang mendiskreditkannya. Atau mungkin di satu sisi, aku punya impian yang lebih tinggi untuk dicapai.

Tapi bagiku, saat ini hal apapun adalah peluang. Peruntungan itu datang karena usaha, bukan hanya berdiam diri. Coba-coba dan coba… Siapa tau gayung bersambut, setidaknya aku gagal setelah usaha, bukan semata-mata karena berdiam diri.

Coba ku berfikir untuk mengambil apapun yang ada di depan mata. Meski itu dikata tanpa tujuan. Biarlah. Dulu aku terlalu fokus oleh tujuanku, dan ketika hal itu tidak tercapai terbuanglah waktu sia-sia. Kali ini, biarlah aku jalani apapun yang ada di depan mata. Tak perlu berfikir panjang, karena, sulit membedakan antara “pengecut” dan “selektif”.


***

Kembali pada perjalananku di malam ini, jalanan begitu riuh oleh truk-truk dan beberapa bus malam. Padat, merayap, dan menjemukan. Sesekali suara kantuk muncul di perjalanan yang begitu lambat…

Dihidupkanlah korek api oleh temanku tadi, dan segera kunyalakan sebatang rokok untuk mengusir kantuk yang tiba tanpa diminta. Namanya Bayu, pria berpawakan tinggi besar, sedikit lebih gemuk dariku. Parasnya mirip seorang designer kawakan Ivan Gunawan, meski aku sangat berharap seleranya masih tetap pada wanita. Karena nanti aku harus bermalam bersamanya dalam satu ruangan.  Hahaha…

Tak pernah ku sangka akan ada dia di sini malam ini, tak pernah. Beberapa tahun kami tak bertemu, hilang kontak, mengudara di jejaring sosialpun hampir tak pernah saling sapa. Dulu pun kami bukan kawan dekat, hingga diantara kami memang jarang ada urusan satu sama lain.

Tapi ini nyata, saat ini kami bersama, berjuang untuk satu tujuan yaitu mencoba peruntungan. Hal yang tak kusangka-sangka, malam kemarin di komen-nya status Facebook ku, dan kita ,mulai berbincang-bincang lewat chat di Facebook.

Singkat cerita, akhirnya kami sepakat berangkat bersama. Dia urus penginapan dan satu sisi, aku handle  masalah transportasi. Kesamaan nasib dan tujuan akhirnya membuat kami bekerjasama.

***

Beginilah hidup, fikirku. Tak pernah terduga, tak pernah tertebak. “Manusia hanya bisa berencana, namun hasil itu ada di tangan Yang Kuasa”, mungkin andagium itu ada benarnya juga.

Masa depan adalah misteri, hal absurd yang bahkan tak bisa kita pastikan 100%. Kita, sebagai manusia yang berfikir, hanya bisa merencanakan dan menghadapinya. Merencanakan untuk membuat sebuah impian, konsep, demi sebuah tujuan. Menghadapinya untuk merealisasikannya, mewujudkannya, setidaknya menjalaninya ketika hal itu tak sesuai yang kita harapkan.

Seperti halnya aku malam ini, mungkin… Yang tak pernah bermimpi dan berkeinginan menjadi bagian di Perusahaan itu, atau bahkan berfikir untuk berjumpa dengan temanku tadi. Tak sama sekali…
!

Selengkapnya...

Posted in | 0 Comments »

Menulis Lagi

by Yogi S. Harjanto

Terbelenggu lelah setelah aktifitas hari ini, hingga sebuah atensi menulisku muncul kembali di tengah detik-detik menjelang pergantian waktu. Rasa letih dan malas itu menyelimuti tubuhku hingga tak sengaja kudapati sebuah notes pada jejaring sosial yang dikirim oleh seorang teman. Tanpa pikir panjang ku baca tulisan tersebut.

Tak begitu ada yang istimewa memang dalam tulisan itu hingga bisa sedikit mengugah spiritku yang sedang timbul-tenggelam. Ia memang hanya sedang bercerita ringan tentang dirinya yang menjadi “secret admirer”, dengan gaya feature tentunya.

Namun aku tau pasti, sebenarnya ada hal besar yang ingin Ia tanamkan dari apa yang pernah ditulisnya hingga saat ini. Lebih dari sekedar isi dan esensi tentunya.

***
Kembali fikiranku tertuju pada beberapa bulan yang lalu, dimana aku dan beberapa teman (termasuk diantaranya “si Penulis” diatas) tanpa sengaja mencetuskan sebuah Group. Kelompok menulis yang membenalukan diri pada sebuah jejaring sosial. Terbentuk oleh beberapa teman yang tergabung dalam organisasi kampus di bidang jurnalistik.

Dengan tujuan sok bijak yaitu memupuk budaya menulis, sembari menjajal asas learning by doing. Benar adanya jika ilmu jurnalistik itu “bisa karena terbiasa”. Cukup bermodal keberanian, diejawantahkan, dan teori-teori lain cukup mengikuti saja. Terbukti, banyak karya tercipta…

Beberapa bulan yang produktif. Saling menginstropeksi satu dan lainnya, baik senior maupun para junior berbaur tanpa ada kasta dan tanpa sakit hati tentunya. Sanksi moral bagi yang telat posting, sanksi sosial bagi yang tidak posting, hahaha... Yah, kami selalu adakan pertemuan di sebuah warung Burjo dekat kampus setelah deadline tiba.

Sampai akhirnya di beberapa bulan terakhir, Group itu sepi karena angota-angotanya bosan, dan sibuk sendiri. Termasuk diriku yang sedang berusaha bangkit dari keterpurukan atas beberapa hal yang sempat menyambangiku.

Grup menulis yang (hampir) jadi kenangan tanpa ada yang mencatatkan sepak terjangnya. Sungguh ironi…

***
Tuts-tuts laptop ini bernyanyi memecah keheningan malam, tanganku masih berkutat memainkannya. Makin asyik memainkannya bak Ludwig van Beethoven dengan pianonya. Betapa asyiknya hingga aku takjub bahwa kata demi kata yang bermunculan di layar ini tercipta dengan sendirinya, alakadarnya namun begitu bisa dinikmati.

Sudah beberapa bulan ini memang ku putuskan untuk berhenti menulis. Karena tak pernah ku selesaikan apa yang pernah coba ku tulis. Entah kenapa…

Ah, kembali pada temanku “si Penulis” tadi, dia lah satu-satunya orang yang masih bertahan untuk terus dan terus menulis. Tak pernah Ia terpengaruh oleh kealpaan yang lain. Hanya karena dirinya lah Group tersebut selalu luput dari maut. Hingga saat ini…

Malam ini aku tergugah, bukan karena isi tulisan temanku itu, tapi karena kenapa dia masih menulis. Konsisten meski tak ada yang memaksanya untuk menulis. Aku yakin bahwa sejatinya menulis itu adalah kebutuhan baginya bahkan bagi setiap orang yang menyadarinya.
.
***
Lewat tulisan ini, sebenarnya aku coba untuk berbagi, khususnya pada kawan-kawanku yang pernah satu wadah dalam komunitas ini. Jika memang masih ada atensi untuk berdinamika, sudah saatnya kita bangkit lagi. Bahwa diam itu tak beda dengan mati.

Menulis bukan sekedar menciptakan karya, bukan juga (hanya) untuk alat perjuangan dan mempengaruhi.

Maka tak perlu banyak berfikir, tak perlu banyak mencari input. Tak perlu banyak menunggu feel. Sayang jika apa yang selama ini kita alami tak pernah terdokumentasi. Hanya akan hilang, tertelan oleh hal-hal baru yang membuat kita lupa, dan begitu seterusnya.

Menulis itu adalah kebahagiaan. Menumpahkan beban dalam pikiran saat kita mulai menuangkan ide-ide yang ada dalam kata dan cerita. Membuat kita semakin kenal akan diri sendiri ketika proses editing dan kita membacanya kembali, bak melihat wajah kita di dalam cermin. Dan menjadi sebuah kepercayaan diri saat kita berani mempublikasikannya.

Biarkan tanganmu bermain, biarkan pikiran itu mengarahkan dengan sendirinya dan biarkan perasaan menggelora agar hal itu bisa memunculkan letupan-letupan kecil dalam karyamu. Menulis itu mudah, maka Tulislah
Selengkapnya...

Posted in | 0 Comments »
bad_surya106@yahoo.com. Diberdayakan oleh Blogger.