Terbelenggu lelah setelah aktifitas hari ini, hingga sebuah
atensi menulisku muncul kembali di tengah detik-detik menjelang pergantian
waktu. Rasa letih dan malas itu menyelimuti tubuhku hingga tak sengaja kudapati
sebuah notes pada jejaring sosial yang dikirim oleh seorang teman. Tanpa pikir
panjang ku baca tulisan tersebut.
Tak begitu ada yang istimewa memang dalam tulisan itu hingga
bisa sedikit mengugah spiritku yang sedang timbul-tenggelam. Ia memang hanya
sedang bercerita ringan tentang dirinya yang menjadi “secret admirer”, dengan gaya feature tentunya.
Namun aku tau pasti, sebenarnya ada hal besar yang ingin Ia
tanamkan dari apa yang pernah ditulisnya hingga saat ini. Lebih dari sekedar
isi dan esensi tentunya.
***
Kembali fikiranku tertuju pada beberapa bulan yang lalu,
dimana aku dan beberapa teman (termasuk diantaranya “si Penulis” diatas) tanpa
sengaja mencetuskan sebuah Group. Kelompok menulis yang membenalukan diri pada
sebuah jejaring sosial. Terbentuk oleh beberapa teman yang tergabung dalam
organisasi kampus di bidang jurnalistik.
Dengan tujuan sok bijak yaitu memupuk budaya menulis,
sembari menjajal asas learning by doing. Benar adanya jika ilmu jurnalistik itu
“bisa karena terbiasa”. Cukup bermodal keberanian, diejawantahkan, dan
teori-teori lain cukup mengikuti saja. Terbukti, banyak karya tercipta…
Beberapa bulan yang produktif. Saling menginstropeksi satu
dan lainnya, baik senior maupun para junior berbaur tanpa ada kasta dan tanpa
sakit hati tentunya. Sanksi moral bagi yang telat posting, sanksi sosial bagi
yang tidak posting, hahaha... Yah, kami selalu adakan pertemuan di sebuah
warung Burjo dekat kampus setelah deadline tiba.
Sampai akhirnya di beberapa bulan terakhir, Group itu sepi
karena angota-angotanya bosan, dan sibuk sendiri. Termasuk diriku yang sedang
berusaha bangkit dari keterpurukan atas beberapa hal yang sempat menyambangiku.
Grup menulis yang (hampir) jadi kenangan tanpa ada yang
mencatatkan sepak terjangnya. Sungguh ironi…
***
Tuts-tuts laptop ini bernyanyi memecah keheningan malam,
tanganku masih berkutat memainkannya. Makin asyik memainkannya bak Ludwig van
Beethoven dengan pianonya. Betapa asyiknya hingga aku takjub bahwa kata demi
kata yang bermunculan di layar ini tercipta dengan sendirinya, alakadarnya
namun begitu bisa dinikmati.
Sudah beberapa bulan ini memang ku putuskan untuk berhenti
menulis. Karena tak pernah ku selesaikan apa yang pernah coba ku tulis. Entah
kenapa…
Ah, kembali pada temanku “si Penulis” tadi, dia lah
satu-satunya orang yang masih bertahan untuk terus dan terus menulis. Tak
pernah Ia terpengaruh oleh kealpaan yang lain. Hanya karena dirinya lah Group
tersebut selalu luput dari maut. Hingga saat ini…
Malam ini aku tergugah, bukan karena isi tulisan temanku
itu, tapi karena kenapa dia masih menulis. Konsisten meski tak ada yang
memaksanya untuk menulis. Aku yakin bahwa sejatinya menulis itu adalah
kebutuhan baginya bahkan bagi setiap orang yang menyadarinya.
.
***
Lewat tulisan ini, sebenarnya aku coba untuk berbagi,
khususnya pada kawan-kawanku yang pernah satu wadah dalam komunitas ini. Jika
memang masih ada atensi untuk berdinamika, sudah saatnya kita bangkit lagi. Bahwa
diam itu tak beda dengan mati.
Menulis bukan sekedar menciptakan karya, bukan juga (hanya)
untuk alat perjuangan dan mempengaruhi.
Maka tak perlu banyak berfikir, tak perlu banyak mencari
input. Tak perlu banyak menunggu feel. Sayang jika apa yang selama ini kita
alami tak pernah terdokumentasi. Hanya akan hilang, tertelan oleh hal-hal baru
yang membuat kita lupa, dan begitu seterusnya.
Menulis itu adalah kebahagiaan. Menumpahkan beban dalam
pikiran saat kita mulai menuangkan ide-ide yang ada dalam kata dan cerita. Membuat
kita semakin kenal akan diri sendiri ketika proses editing dan kita membacanya
kembali, bak melihat wajah kita di dalam cermin. Dan menjadi sebuah kepercayaan
diri saat kita berani mempublikasikannya.
0 komentar:
Posting Komentar