Pria itu
terbaring di sebuah ranjang, tubunya lemas dan wajahnya cemas. Nampak raut
wajahnya begitu memelas. Suara nafas yang lemah, menandakan tak ada lagi
gairah. Kadang nyeri pada dada dan sesak nafas tiba-tiba, seperti baru melihat
malaikat pencabut nyawa. Ia sakit parah.
Wajahnya yang sangar tak lagi tampak tegar. Seperangkat
peralatan medis bersuara konstan dan selang pada pernafasan, menjadi penanda
antara hidup dan kematian. Infus ditangan mengingatkan betapa nikmat kesehatan.
Matanya berkaca-kaca jika merasa ruang kamar itu adalah tempat terahirnya.
Organ jantungnya mengalami penyempitan pembuluh akibat
tersumbat. Lemak jenuh akibat obesitas memenuhi ruang-ruang pada jalur pembuluh
darah. Dokter sempat terheran-heran, sejauh ini Ia mampu bertahan. Nekat! Kuat
hanya dengan beberapa obat. Itupun tidak akan menyembuhkan, hanya membuat darah
lebih encer agar mampu merambat dari sela-sela sumbatan.
Untung belum terlambat. Operasi adalah jalan terakhir untuk
memangkas yang tersumbat. Meski begitu tak ada yang berani jamin, fisiknya
kembali seperti beberapa bulan kemarin. Wajar jika Ia banyak berfikir, hidup
terasa diambang akhir. Siapa yang tak akan gentar bila mendengar operasi itu
butuh sekitar selusin kantung darah serta beberapa pendonor hidup yang siaga
menyumbang darah segar. Belum lagi kelumpuhan yang terjadi akibat otot kaki
dijadikan bahan dasar transplantasi.
Memang saat-saat seperti ini, hidup terasa begitu berarti.
Pria itu bagai berada diujung tanduk. Tetap berdiam sama dengan mati perlahan,
jalan bedah pun bukan sebuah harapan. Dilema antara mati konyol atau berusaha
keras meski resikonya pun kurang lebih sama.
Tak terasa limapuluh tahun sudah Pria itu hidup di dunia. Melewati
masa dengan suka dan duka. Ia tak sendiri. Ditemani seorang istri dan dua
putra, membangun sebuah keluarga. Dari gaji sebagai pegawai negeri ia abdikan
diri sebagai ayah sekaligus suami.
Terkadang baginya masa kecil dirasa tak adil. Tinggal
bersama sembilan kakak dan tiga orang adik yang masih kecil. Tumbuh mandiri
dalam fase pencarian jati diri. Saat beranjak dewasa, ayahnya buru-buru
dipanggil Yang Maha Kuasa hingga tak bisa melihat saat dirinya mulai berhasil. Ia
sempat dampingi sang ayah saat menemui ajal. Mungkin itu juga salah satu alasan
kenapa si pesakitan tak pernah mau berobat ke rumah sakit. Trauma rupanya.
Dari sebuah ketakutan maka munculah motivasi. Motivasi akan
merasuk ke alam mimpi. Meski tak boleh hanya sebatas bermimpi, tapi tanpa
impian manusia tak terlalu punya arti. Jadi, ambil hikmah dari masa lalu,
hingga ada sesuatu yang akan dituju. Kurang lebih itulah yang ada di benak Pria
itu.
Ia ingin sukses membina rumah tangga sama seperti
pendahulunya. Tidak telalu muluk, hanya tak ingin lewati saat-saat kedua buah
hatinya berhasil mandiri. Cukup untuk membalas semua kerja keras, karena
kenyataan itu yang tak pernah sang ayah lewati.
Hidup tak semudah yang pernah terbayang. Itulah yang jelas
tergambar sekarang. penyakitnya adalah sebuah rintangan. Jika kalah, hapuslah
impian dan tak mampu melampaui pencapaian ayahnya.
Kalaupun terjadi, sia-siakah semua pengorbanan? Tentu tidak.
Hanya kekecewaan akan mengiringi jiwanya menuju keabadian. Benar-benar sebuah
penyesalan!
Padahal tak lama lagi putra sulungnya mendapat gelar sarjana
dan berdikari sebagai praktisi. Si bungsu tak jauh beda, dua semester lagi
lulus dari SMA. Jika semua sesuai rencana, Ia akan bersaing masuk Korps
Bhayangkara. Tak lebih sepuluh tahun lagi impian Pria itu akan terealisasi. Sungguh
akhir yang ironi, jika kematian benar-benar terjadi.
Entah sudah lewat berapa hari sejak pertama Ia tergeletak di
rumah sakit. Kondisi fisiknya sudah berangsur pulih, meski kadang masih terasa
sakit. Sebenarnya tak ada yang berubah, pembuluh jantungnya masih menyempit.
Serangan telak masih bisa datang sewaktu-waktu. Maka perlu ada pengawasan
setiap waktu.
Dokter sudah memperbolehkan rawat jalan. Memang tak ada yang
bisa dilakukan. Semua tes dan prosedur diagnosis dijalankan, operasi jadi
satu-satunya jalan jika ingin memangkas sumbatan. Atau mungkin menunggu
keajaiban adanya teknologi terbaru yang lebih aman.
Ruang kamar itu tampak sedikit ramai, kedua anaknya datang
untuk kembali menghibur. Hampir tiap hari mereka bergantian mendampingi
ayahnya. Tanpa bosan, tanpa terpaksa. Pria itu juga nampak semakin gembira.
Tak lama Istrinya datang, membawa surat pembayaran. Lunas,
dan bisa segera pulang. Kemudian, diperintahkan kedua anaknya untuk membeli
makan siang sebelum beranjak pulang. Itu hanyalah strategi, Ia ingin
membicarakan beberapa hal yang penting pada sang suami. Sambil berkemas sang
istri segera mulai pembicaraan.
Wanita itu rela jika harus menjual rumah, mobil, hingga
perhiasan. Semua sudah dipersiapkan. Terpenting adalah kesembuhan. Harta bisa
dicari tapi nyawa tak akan bisa diganti. Setidaknya perlu biaya ratusan juta
untuk merujuknya ke rumah sakit jantung terbaik yang letaknya di Ibukota, atau
jika terpaksa harus terbang ke negeri tetangga.
Mugkin ini yang namanya belahan hati. Dua puluh tahun lebih
bukan waktu yang singkat untuk saling memahami. Meski tak selalu satu pikiran,
asal masih menyatu dalam perasaan, maka bersama akan dihadapi semua rintangan.
Pria itu tersenyum, dan kemudian berkomentar panjang lebar. Ia
tak takut lagi jika harus mati. Toh sewaktu-waktu, dimana saja tiap orang bisa
meregang nyawa. Tak perlu harus memaksakan operasi toh akhirnya akan mati juga.
Biar mati konyol menyakitkan, tapi impian harus tetap jadi
tujuan. Anak-anak butuh bekal materi, setidaknya hingga mampu berdikari. Jika
harta habis hanya untuk pengobatan, belum tentu impian akan terealisasi, tapi
mati sudah pasti. Percuma ! Percayakan pada takdir Tuhan. Meski saat dipanggil
Sang Pencipta, asal impian akan kedua putranya menjadi nyata, Pria itu akan
sangat bahagia walau tak bisa melewatinya bersama-sama…
________________________________________
tulisan yang ku tulis beberapa bulan sebelum Beliau tiada, seperti isyarat:)
Selengkapnya...